Pelanggaran Etika Bisnis yang Terjadi pada
Era Globalisasi
Secara
sederhana yang dimaksud dengan etika
bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup
seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri
dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis
secara adil, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan tidak tergantung pada
kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat.
Etika
bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan
standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena
dalam kegiatan bisnis seringkali kita temukan wilayah abu-abu yang tidak
diatur oleh ketentuan hukum.
Von der Embse dan R.A. Wagley
dalam artikelnya di Advance Managemen Jouurnal (1988), memberikan tiga
pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika bisnis, yaitu :
- Utilitarian
Approach :
setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensinya. Oleh karena itu,
dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat
memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak
membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya.
- Individual
Rights Approach :
setiap orang dalam tindakan dan kelakuannya memiliki hak dasar yang harus
dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari
apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang
lain.
- Justice
Approach :
para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil
dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan
ataupun secara kelompok.
Etika bisnis memiliki prinsip – prinsip yang harus ditempuh oleh
perusahaan untuk mencapai tujuannya dan harus dijadikan pedoman agar memiliki
standar baku yang mencegah timbulnya ketimpangan dalam memandang etika moral
sebagai standar kerja atau operasi perusahaan. Muslich (1998: 31-33)
mengemukakan prinsip-prinsip etika bisnis sebagai berikut:
1. Prinsip Otonomi
Prinsip otonomi memandang bahwa perusahaan
secara bebas memiliki wewenang sesuai dengan bidang yang dilakukan dan
pelaksanaannya dengan visi dan misi yang dimilikinya. Kebijakan yang diambil
perusahaan harus diarahkan untuk pengembangan visi dan misi perusahaan yang
berorientasi pada kemakmuran dan kesejahteraan karyawan dan komunitasnya.
2.
Prinsip Kejujuran
Kejujuran merupakan nilai yang paling mendasar
dalam mendukung keberhasilan perusahaan. Kejujuran harus diarahkan pada semua
pihak, baik internal maupun eksternal perusahaan. Jika prinsip kejujuran ini
dapat dipegang teguh oleh perusahaan, maka akan dapat meningkatkan kepercayaan
dari lingkungan perusahaan tersebut.
3.
Prinsip tidak berniat jahat
Prinsip ini berhubungan dengan prinsip
kejujuran. Penerapan prinsip kejujuran yang ketat akan mampu meredam niat jahat
perusahaan (manajer dan segenap karyawan).
4.
Prinsip keadilan
Perusahaan harus bersikap adil kepada
pihak-pihak yang terkait dengan sistem bisnis. Contohnya, upah yang adil kepada
karyawan sesuai kontribusinya, pelayanan yang sama kepada konsumen, dan
lain-lain.
5.
Prinsip hormat pada diri sendiri
Perlunya menjaga citra baik perusahaan tersebut
melalui prinsip kejujuran, tidak berniat jahat dan prinsip keadilan. Hormat
pada diri sendiri maksudnya adalah perusahaan harus menjaga nama baiknya dengan
menerapkan prinsip jujur, tidak berniat jahat, dan melakukan prinsip keadilan
sehingga mendatangkan apresiasi yang baik dari lingkungan.Globalisasi
adalah proses yang meliputi seluruh dunia dan menyebabkan system ekonomi serta
sosial negara-negara menjadi terhubung bersama, termasuk didalamnya barang barang,
jasa, modal, pengetahuan, dan peninggalan budaya yang diperdagangkan dan saling
berpindah dari satu negara ke negara lain. Proses ini mempunyai beberapa
komponen, termasuk didalamnya penurunan rintangan perdagangan dan munculnya
pasar terbuka dunia, kreasi komunikasi global dan system transportasi seperti
internet dan pelayaran global, perkembangan organisasi perdagangan dunia (WTO),
bank dunia, IMF, dan lain sebagainya.
Sebagai contoh pelanggaran Etika dalam berbisnis secara global ialah
A.
Kasus pertama
Kasus Baterai laptop Dell; Kasus meledaknya sebuah laptop
milik Dell di Jepang beberapa waktu lalu, rupanya bukan kasus yang pertama kali
terjadi. Setelah kejadian di Jepang, Pihak Dell menyatakan sedang menyelidiki
faktor meledaknya salah satu laptop yang digunakan pada saat konferensi. Tetapi
tahukah Anda, bahwa sebelum Dell menarik 22.000 unit baterai pada Desember 2005
lalu, sebenarnya Dell sudah mengetahui masalah panas berlebih ini, setidaknya
selama kurun waktu 2 tahun. Seperti dikutip detikINET dari Personal Tech
Pipeline, Jumat (21/7/2006), seorang sumber yang mengaku dekat dengan Dell
manyatakan, bahwa perusahaan tersebut memiliki bukti otentik masalah overheat.
Menurutnya Dell memiliki banyak dokumen foto yang menunjukkan kasus laptop yang
terbakar dan meleleh, yang diambil pada tahun 2003 dan 2004. Antara lain lebih
dari selusin notebook yang meleleh pada bagian bawah keyboard. Juru bicara
Dell, Jess Blackburn tidak bersedia berkomentar tentang berapa banyak laptop
yang dikembalikan kepada perusahaan yang berbasis di Texas tersebut. Dirinya
juga mengatakan, jika benar terdapat lusinan laptop yang terbakar selama 2003
dan 2004 hal tersebut sangat wajar karena tiap kuartalnya Dell memasarkan
jutaan laptop. "Jika terdapat kejadian yang membahayakan konsumen, kami
pasti langsung mengambil tindakan," ujar Blackburn dengan mencontohkan
kasus penarikan laptop atas kasus baterai dan masalah kapasitor yang juga
pernah terjadi. "Dari semua hal tersebut, saya ingin mengingatkan bahwa
Dell tetap menempatkan prioritas tertinggi terhadap keamanan konsumen."
Sebagai bagian atas kasus ini, Dell juga meluncurkan situs
DellBatteryProgram.com
B.
Kasus ke2
a.
Kasus obat anti nyamuk
Hit; Pada hari Rabu, 7 Juni 2006, obat anti-nyamuk HIT yang diproduksi oleh PT
Megarsari Makmur dinyatakan akan ditarik dari peredaran karena penggunaan zat
aktif Propoxur dan Diklorvos yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan terhadap
manusia, sementara yang di pabrik akan dimusnahkan. Sebelumnya Departemen
Pertanian, dalam hal ini Komisi Pestisida, telah melakukan inspeksi mendadak di
pabrik HIT dan menemukan penggunaan pestisida yang menganggu kesehatan manusia
seperti keracunan terhadap darah, gangguan syaraf, gangguan pernapasan,
gangguan terhadap sel pada tubuh, kanker hati dan kanker lambung.
HIT yang promosinya sebagai obat anti-nyamuk ampuh dan murah ternyata sangat berbahaya karena bukan hanya menggunakan Propoxur tetapi juga Diklorvos (zat turunan Chlorine yang sejak puluhan tahun dilarang penggunaannya di dunia). Obat anti-nyamuk HIT yang dinyatakan berbahaya yaitu jenis HIT 2,1 A (jenis semprot) dan HIT 17 L (cair isi ulang). Selain itu, Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan melaporkan PT Megarsari Makmur ke Kepolisian Metropolitan Jakarta Raya pada tanggal 11 Juni 2006. Korbannya yaitu seorang pembantu rumah tangga yang mengalami pusing, mual dan muntah akibat keracunan, setelah menghirup udara yang baru saja disemprotkan obat anti-nyamuk HIT. Masalah lain kemudian muncul. Timbul miskomunikasi antara Departemen Pertanian (Deptan), Departemen Kesehatan (Depkes), dan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Menurut UU, registrasi harus dilakukan di Depkes karena hal tersebut menjadi kewenangan Menteri Kesehatan. Namun menurut Keppres Pendirian BPOM, registrasi ini menjadi tanggung jawab BPOM. Namun Kepala BPOM periode sebelumnya sempat mengungkapkan,semua obat nyamuk harus terdaftar (teregistrasi) di Depkes dan tidak lagi diawasi oleh BPOM. Ternyata pada kenyataanya, selama ini izin produksi obat anti-nyamuk dikeluarkan oleh Deptan. Deptan akan memberikan izin atas rekomendasi Komisi Pestisida. Jadi jelas terjadi tumpang tindih tugas dan kewenangan di antara instansi-instansi tersebut.
Analisis Kasus
Ditemukannya zat berbahaya seperti Propoxur dan Diklorvos pada produk obat anti-nyamuk yang dibuat oleh PT Megarsari Makmur yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan tentu saja sangat mengagetkan. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi ? Padahal sudah ada undang-undang yang mengatur hak-hak konsumen, yaitu UU No.8 tahun 1999 mengenai perlindungan konsumen. Deptan juga telah mengeluarkan larangan penggunaan Diklorvos untuk pestisida dalam rumah tangga sejak awal 2004 (sumber : Republika Online). Hal itu membuat kita dapat melihat dengan jelas bahwa pemerintah tidak sungguh-sungguh berusaha melindungi masyarakat umum sebagai konsumen. Para produsen masih bisa leluasa menciptakan produk baru dan dengan mudahnya memasarkannya tanpa ada monitoring ketat dari pihak pemerintah. Jika dilihat menurut Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, kasus obat anit-nyamuk HIT tersebut menyalahi ketentuan. Berikut adalah beberapa pasal dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang dilangar oleh PT Megarsari Makmur sebagai produsen obat anti-nyamuk HIT:
1.
Pasal 4, tentang hak konsumen:
o Ayat 1 : “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”
o Dalam hal ini PT Megarsari Makmur melanggar hak konsumen tersebut. Ia telah terbukti menghasilkan produk yang memiliki kandungan zat Propoxur dan Dichlorvos yang sangat berbahaya sehingga mengancam keselamatan
konsumen penggunanya. Menurut Indonesian Pharmaceutical Watch (IPhW), senyawa
Propoxur dan Dichlorvos bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker). Di Amerika,
Propoxur diijinkan penggunaannya terbatas untuk perkebunan. Sementara
Dichlorvos tidak larut dalam air, tetapi larut dalam lemak.
o Ayat 3 : “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”
o Selama ini PT Megarsari Makmur tidak pernah memberitahukan
bahwa zat-zat yang terkandung di dalam obat anti-nyamuk HIT mengandung zat-zat
berbahaya. Di iklannya hanya dikatakan,” kalau ada yang murah kenapa beli yang
mahal”. Konsumen jelas dibohongi.
2.
Pasal 7, kewajiban
pelaku usaha adalah :
o Ayat 2: “memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”.
o PT Megarsari Makmur tidak pernah memberitahukan kondisi
serta penjelasan tentang penggunaan obat anti-nyamuk HIT dalam publikasinya
melalui iklan televisi maupun cetak. Menurut Prof. DR. Ir. Edhi Martono, M.
MSc, dosen Toksikologi Pestisida Fakultas Pertanian UGM, ketika menggunakan
obat anti-nyamuk, sebaiknya setelah kamar disemprot, kamar tersebut harus
didiamkan paling tidak setengah sampai satu jam dan pintu kamar harus ditutup.
Setelah itu baru orang boleh masuk lagi.
3.
Pasal 8
o Ayat 1:“Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang : tidak memenuhi atau tidak sesuai
dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan”
o Ayat 4 : “Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat
(1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta
wajib menariknya dari peredaran”
o Menurut kedua ayat diatas, pelaku usaha dilarang
memproduksi dan memperdagangkan barang yang tidak memenuhi standar yang
disyaratkan. Jika ia terbukti melakukan pelanggaran tersebut, barang tersebut
harus ditarik dari peredaran. PT
Megarsari Makmur melanggar kedua ayat diatas. Ia memproduksi obat anti-nyamuk
HIT yang tidak memenuhi ketentuan baik dari Deptan, Depkes, maupun BPOM dan
ketika disuruh untuk segera menarik oabat anti-nyamuk HIT dari peredaran, ia
tidak segera melakukannya. Dari sumber Suara Karya Online dikatakan bahwa izin
produksi obat anti-nyamuk jenis semprot dan cair isi ulang telah berakhir pada
2003 dan April 2004. Komisi Pestisida Deptan pun telah mengeluarkan larangan
resmi pemakaian semua produk yang mengandung Dichlorvos. Namun pada tanggal 7
Juni 2006 ketika diadakan inspeksi mendadak oleh Deptan, kedua jenis obat
anti-nyamuk tersebut ditemukan di dalam pabrik. Alasannya yang dikemukakan
Manajer Urusan Umum, Ahmad Bedah Istigfar, yang menyatakan bahwa mereka masih
memproduksi dua jenis obat anti-nyamuk terlarang itu karena belum mempunyai
formula baru untuk mengganti Dichlorvos tetap saja tidak bisa dibenarkan.
Karena ini menyangkut hak-hak konsumen, bahkan mengancam keselamatan mereka.
Jadi terbukti bahwa sampai sekarang, PT Megarsari Makmur belum juga menarik
produknya yang berbahaya tersebut dari peredaran.
4.
Pasal 19
o Ayat 1 : “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti
rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi
barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”
o Ayat 2 : “Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
o Ayat 3 : “Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang
waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi”
Berkaca dari dua contoh kasus di atas, kita dapat melihat etika
dan bisnis sebagai dua hal yang berbeda. Memang, beretika dalam berbisnis tidak
akan memberikan keuntungan dengan segera, karena itu para pelaku bisnis harus
belajar untuk melihat prospek jangka panjang.